Mahasiswa KKN-PPM UBH Di Rumah Tuanku Lintau
Di Nagari Tepi Selo tidak akan asing lagi dengan keberadaan rumah gadang yang telah ada lebih dari ratusan tahun. Rumah gadang tersebut bernama Rumah Tuanku Lintau dan terletak di Jorong Tangah Padang, Nagari Tepi Selo, Kecamatan Lintau Buo Utara, Kabupaten Tanah Datar.
Rumah ini merupakan peninggalan sejarah Tuanku Lintau dari pejuang agama dan adat. Pemberian nama Tuanku Lintau, menurut cerita dulunya dia termasuk orang yang alim dan serba tahu.
Rumah ini merupakan peninggalan sejarah Tuanku Lintau dari pejuang agama dan adat. Pemberian nama Tuanku Lintau, menurut cerita dulunya dia termasuk orang yang alim dan serba tahu.
Tuanku lintau lahir sekitar tahun 1750 M di Tepi Selo. Ia memiliki ayah seorang penghulu dari Suku Koto Anyir yang bergelar Datuk Sinaro, seedangkan ibunya bernama Puti Gando Sari berasal dari Suku Melayu Qatar.
Tuanku Lintau juga termasuk satu dari Harimau nan Salapan (Harimau yang Delapan), merupakan sebutan untuk pimpinan beberapa perguruan dan kaum yang tersebar di Nagari yang ada dalam Kerajaan Pagaruyung masa itu, yang kemudian menjadi pemimpin dari Kaum Padri.
Pada massa Perang Paderi dikisahkan telah terjadi suatu pertentangan yang mendebatkan antara adat istiadat dan agama. Dari pertentangan inilah tuanku lintau muncul dan hadir untuk menyelesaikan semua persoalan yang terjadi saat itu.
Maka dengan ketegasan dan perjuangan Tuanku Lintau terciptalah kedamain yang melahirkan satu filosofi adat yang masih dipakai sampai saat ini yaitu Adat Basandi Sarak, Sarak Basandi Kitabbullah dan dikenal dengan Sumpah Sakti Bukik Marapalam yang terjadi di Puncak Pato Nagari Batu Bulek.
Dalam perjalananny menegakkan syiar agama Tuanku Lintau mendapatkan gelar pusaka Datuak Angku Pandito Maulana. Dari ketegasan Tuanku Lintau dalam menegakkan agamanya, hampir setiap pagi setelah sholat subuh dia berkeliling kampung untuk melihat apakah masyarakatnya telah melaksanakan sholat.
Jika masyarakatnya belum melaksanakan sholat maka dia akan mengetuk pintu rumah dan menyuruhnya sholat. Bahkan jika saja ketahuan 3 kali tidak melaksanakan sholat maka Tuanku Lintau tidaklah segan-segan untuk membunuh orang tersebut, begitulah ketegasannya dalam memperjuangkan agama islam.
Dari segi ekonomi, Tuanku Lintau termasuk kaya dan berkecukupan sehingga pada zaman belanda tidak pernah kekurangan logistik dan untuk memperkuat perekonomiannya Tuanku Lintau mengajak masyarakat untuk membuat kolam ikan pada setiap mesjid dan pekarangan rumah.
Sampai saat ini, hampir setiap rumah warga mempunyai kolam ikan, dipekarangan Rumah Tuanku Lintau masih terjaga dan dekat mushola tuanku lintau juga masih ada kolam ikan.
Bahkan dibelakang Rumah Tuanku Lintau memiliki telaga. Konon, menurut masyarakat yang tinggal berdekatan dengan Rumah Tuanku Lintau menceritakan telaga itu tidak pernah kering meskipun musim panas dan ketika semua sumur warga kering maka masyarakat untuk memenuhi kebutuhan air sehari-harinya seperti mandi, mencuci dan minum mengambilnya dari telaga tersebut.
Menurut cerita Datuk Yon Hendri (41), Tuanku Lintau telah menikah 3 kali tapi sayangnya untuk nama istri dan anaknya belum dapat informasi yang dapat membuktikannya secara kuat sehingga kita hanya tahu kalau Tuanku Lintau itu pernah menikah 3 kali.
Pada tahu 1832 M Tuanku Lintau meninggal ketika akan melaksanakan haji. Kala itu, belum terdapat pesawat terbang atau kendaraan lainnya. Tuanku Lintaumenjalankan ibadah hajinya ke Mekkah dengan berjalan kaki.
Ditengah perjalanannya tepatnya di Pelalawan Riau Tuanku Lintau dibunuh oleh penjajah Belanda dengan cara dipacung sampai kepala dan tubuh tuanku lintau terpisah jadi dua. Ketika itu, Tuanku Lintau tidak membawa pedangnya karena dia berniat untuk pergi ibadah ke tanah suci.
Sementara Datuk Yohanes Maulana (79) mengatakan, Tuanku Lintau dimakamkan di Pelalawan Riau, ketika keluarga Tuanku Lintau berniat untuk memindahkan makam tersebut, masyarakat Pelalawan menolak dan melarang untuk dipidahkan karena mereka sudah menjadikan makam keramat.
“Makan Tuanku Lintau telah dijadikan makam keramat oleh masyarakat Pelalawan dan masyarakat banyak yang pergi berziarah ke makamnya.” kata Datuk Yohanes Maulana cicit dari Tuanku Lintau.
Barang-barang peninggalan Tuanku Lintau dapat dilihat dari Rumah Tuanku Lintau yang sampai saat ini masih tersempan rapih oleh keluarga. Selain itu, disekitar Rumah Tuanku Lintau juga terdapat tongkat Tuanku lintau yang panjangnya sekitar 2 meter terbuat dari besi.
Kemudian dua buah pedang, prasasti bebatuan yang tingginya 2 meter, tiga buah tabek besar dan seni budaya seperti silat lintau bahkan terdapat sebuah piagam pengukuhan yang menjadikan Tuanku Lintau sebagai pahlawan daerah tahun 1975 M.
Rumah tuanku lintau dan peninggalannya kurang digarap dengan baik bahkan pemerintah daerah kurang memperhatikannya. Padahal dengan pengelolaan yang baik dapat menjadi potensi pariwisata religi dan budaya di Nagari Tepi Selo.*
*Bayu Haryanto/ Roza Fitria Wati
—————————————————————————————————————————————————
Bayu Haryanto – biasa disapa Ubay. Penikmat senja yang bermimpi untuk explore Indonesia dengan tagline #JajahNagariAwak. Pemotret yang suka dipotret. Perngkai kata dalam blog kidalnarsis.blogspot.com. Jejaring sosial Twitter @beyubay dan Instagram @beyubaystory.
Traveling ■ Explore ■ Journalism ■ Photograph ■ Writer ■ Share ■ Inspire
©Hak Cipta Bayu Haryanto. Jika mengkopi-paste tulisan dan foto ini di situs, milis, dan situs jaringan sosial harap tampilkan sumber dan link aslinya secara utuh. Terima kasih.
No comments:
Post a Comment