Friday, January 27, 2017

Stasiun Pulau Air, Jejak Stasiun Pertama Kereta Api di Ranah Minang

Kereta api BB 303 30 di Stasiun Pulau Air sekitar tahun 1980-an (sumber: Twitter @MinangOfficial)
Di sekitar kawasan Kota Tua Padang terdapat banguan yang dulunya digunakan menjadi stasiun kereta api. Bangunan tersebut menjadi tonggak sejarah panjang dari tumbuh kembangnya infrastrukur yang tidak hanya di Kota Padang, tapi juga di Sumatra Barat.

Namanya Stasiun Pulau Air (PLA) atau Stasiun Pulau Aia/ Pulo Aie. Zaman kolonial bernama Station Poeloe Ajer. Stasiun ini masih berada dikawasan Kota Tua Padang yang beralamat di Jalan Pulau Air, Kelurahan Palinggam, Kecamatan Padang Selatan, Kota Padang.

Dulunya stasiun ini mengubungkan Kota Padang hingga Kota Sawahlunto yang dibangun secara bertahap oleh pemerintah Hindia Belanda.  Hal ini dituliskan dalam Buku Peringatan Kereta Api Pemerintah dan Train di Hindia Belanda 1875-1925 (Gedenkboek der Staatsspoor en Tramvegen in Nederlandsch Indie 1875-1925) terbitan tahun 1925.

Hadirnya kereta api di Sumatra Barat dimulai sejak akhir abad ke-19. Awalnya, kereta api ini digunakan untuk mengangkut hasil perkebunan dan rempah-rempah dari berbagai wilayah pedalaman Sumatra Barat. Namun, sering dengan ditemukannya kandungan batu bara oleh Ir. Willem Hendrik De Greve di Sungai Ombilin, Kota Sawahlunto, membuat Pemerintah Kolonial Hindia Belanda tertarik untuk melakukan eksplorasi. Mengingat dari hasil kajiannya menunjukan kualitas batu bara di sini sangat baik dan jumlahnya pun cukup banyak.

Kemudian pada 1878, pemerintah Kolonial Hindia Belanda mengutus Ir. Cluseaner, Ir. W. Verwey, JW. Ijzermen, RAJ Snathkage, ANJ Vaan Hess serta delapan opsir untuk merintis dan melakukan penyelidikan mengenai batu bara serta perencanaan pembangunan rel kereta api untuk proses distribusinya..

Kehadiran Stasiun Pulau Air ini menjadi bukti berkembangnya Kota Padang sebagai pusat pemerintahan tempo itu, untuk mendukung roda perekonomian kota. Pembangunan dan pengelolaan jalur kereta api di Sumatera Barat awalnya dilaksanakan oleh Sumatra Staatsspoorwegen (SSS). Selanjutnya perusahaan ini dinasionalisasikan menjadi Djawatan Kereta Api Repoeblik Indonesia (DKARI). Kemudian berubah menjadi Perusahaan Jawatan Kereta Api dan sekarang dikelola oleh PT. KAI Divisi Regional II.

Stasiun Pertama Kereta Api di Ranah Minang

Poelo Air nabij Padang ter Sumatra's Westkust 1905 - 1920 (sumber: KILTV)

Kereta api menjadi transportasi primadona masyarakat dalam mengangkut penumpang, barang-barang keperluan masyarakat dan hasil bumi dari pedalaman Minangkabau untuk dijual di Kota Padang melalui Stasiun Pulau Air. Setiap harinya stasiun ini ramai dikunjungi oleh masyarakat, sehingga keadaan ini dimanfaatkan oleh masyarakat setempat untuk mencari rezeki dengan berdagang dan menjadi buruh.

Stasiun Pulau Air merupakan stasiun dan jalur kereta api pertama yang dibangun Pemerintah Kolonial Hindia Belanda di Kota Padang sekaligus di Ranah Minang. Jalurnya digunakan sebagai sarana angkut batu bara dari Ombilin Kota Sawahlunto ke Stasiun Pulau Aie di pelabuhan Muaro Padang dan kemudian ke Emmahaven (Pelabuhan Teluk Bayur) serta penumpang umum.

Stasiun Pulau Air Tahun 1915 (sumber: KILTV)

Stasiun ini mempunyai luas 27,50 x 12 m2. Memiliki pintu masuk yang berada di tengah bangunan, sehingga seolah-olah membagi bangunan menjadi dua bagian. Bagian atas bangunan ditutupi dengan atap seng, sedangkan jendela yang terdapat pada bangunan ini hampir keseluruhan berbentuk persegi. Terdapat jendela dan pintu yang tinggi sebagai ciri khas arsitektur bangunan kolonial.

Dari literatur menyebutkan stasiun ini dibangun sekitar tahun 1892 dan tahun 1900, tapi kemungkinan bisa saja proses pembangunannya di tahun sebelumnya yang bersamaan dengan pembanguanan jalur kereta. Memang belum ada literatur yang menceritakan secara detail mengenai pembangunan Stasiun Pulau Air ini.

Stasiun Pulau Aia (bukan Pulau Air), telah menjadi wacana bagi J.F. Kipperman, yang bertindak atas nama Gemeente Padang tanggal 1 Maret 1900. Kipperman merencanakan mendirikan tempat mangkalnya gerbong kereta api (stasiun/halte keretapi) untuk eksploitasi dari dan ke Kota Padang. Rencana Kipperman ini ternyata baru dapat terealisasi tahun 1929.

Stasiun Pulau Air Pembuka Perkeretaapian di Ranah Minang

Peta rute kereta api di Kota Padang tahun 1891 (sumber: searail.malayanrailways.com)

Pembangunan jalur kereta api di Sumatra Barat dimulai pada bulan Juli tahun 1887 secara bertahap selama 22 tahun dengan jaringan rel kereta sepanjang 239 km untuk lintasan utama dan lintasan cabang.

Lintasa utama meliputi daerah Teluk Bayur – Bukit Putus – Simpang Haru (Padang) – Lubuk Alung – Kayu taman – Kandang Ampat – Padang Panjang – Batu Tebal – Solok – Muaro Kalaban – Sawahlunto. Sedangkan lintasan cabang terdapat empat lintasan dan satu terdapat di Padang yaitu Padang – Pulau Air. Lintasan cabang ini dibangun antara tahun 1887-1888 dengan panjang 4,7 km.

Pembangunan pertama dari Pulau Air, Kota Padang menuju Kota Padang Panjang dengan panjang lintasan 71 km pada 6 Juli 1889 dan selesai pada Juli 1891. Jalur kereta api ini dibuka pada 1 Juli 1891 dan diresmikan pada 1 Oktober 1892 bersamaan dengan pembukaan Pelabuhan Teluk Bayur.

Kemudian pembangunan dilanjutkan untuk mengubungkan Kota Padang Panjang ke Kota Bukittinggi sepanjang 19 km yang selesai pada bulan November 1891. Berikutnya dari Kota Padang Panjang ke Solok 53 km selesai pada 1 Juli 1892. Diteruskan dari Solok ke Muaro Kalaban Kota Sawahlunto 23 km dan Padang-Teluk Bayur 7 km. Kedua jalur ini selesai pada tanggal yang sama  yaitu 1 Oktober 1892.

Selanjutnya tahap pembangunan jalur kereta api dari Muaro Kalaban-Sawahlunto dengan menembus sebuah bukit berbatu yang kemudian bernama Lubang Kalam sepanjang hampir 1 Km atau 835 meter selesai pada 1 Januari 1894.

Mengingat peluang dan potensi yang sangat besar dari ditemukannya kandungan batu bara, Pemerintah Kolonial Hindia Belanda membangun tiga proyek besar yang saling terkait satu sama lainnya pada abad ke-19 Meliputi tambang batu bara Ombilin, stasiun dan jalur kereta api yang digunakan untuk mengangkut batu bara serta pembuatan Pelabuhan Teluk Bayur untuk kegiatan ekspor impor.

Stasiun Pulau Air Riwayatmu Kini


Kondisi stasiun Pulau Aie (Januari 2017 | Koleksi Pribadi) 
Stasiun Pulau Air adalah jalur transportasi perdagangan. Sejak berdirinya stasiun ini hingga awal tahun 1980-an, keberadaan stasiun ini menjadi pilihan utama jalur perdagangan di Sumatra Barat. Pada tahun 1950-an alat transportasi darat yang menghubungkan Kota Padang dengan daerah pedalaman adalah kereta api, selain itu juga dipergunakan bendi dan pedati.

Kereta api dari Stasiun Pulau Air berangkat 4 kali rute. Ada dua jenis kereta api yang ada di stasiun Stasiun Pulau Air, pertama kereta barang, biasa disebut oleh masyarakat setempat dengan sebutan kereta gerobak, dan memiliki 6 hingga 10 gerbong kereta.

Dipo kereta api yang kini dimanfatkan sebagai bengkel (Januari 2017 | Koleksi Pribadi)
Kedua kereta penumpang, biasa disebut oleh masyarakat setempat Kereta Ganevo, dan memiliki 4 hingga 6 gerbong kereta. Kereta api barang biasanya 3 kali pulang pergi dalam sehari, dan kereta api penumpang biasanya 2 kali pulang pergi dalam sehari. Lokomotif yang dipakai di stasiun kereta api Stasiun Pulau Air.

Pada tahun 1960-an Stasiun Pulau Air ini selalu ramai dikunjungi oleh calon penumpang dan aktivitas bongkar barang, sehingga perekonomian masyarakat saat itu mengeliat. Namun, seiring dengan berkembangannya kendaraan bermotor di Kota Padang, mengakibatkan keberadaan kereta api mulai tergantikan oleh bus dan truk.

Sudut bangunan stasiun yang pernah mengalami kebakaran terlihat dari kusen kayunya (Januari 2017 | Koleksi Pribadi)
Depan salah satu bangunan stasiun yang dimanfaatkan menjadi parkir mobil (Januari 2017 | Koleksi Pribadi)
Transportasi bermotor ini dianggap lebih cepat dibandingkan kereta api. Ditambah lagi keadaan gerbong yang sudah tua dan dinding-dinding gerbongnya banyak yang berlubang, sehingga calon penumpang beralih ke kendaraan bus dan truk. Hal ini mengakibatkan menurunnya aktivitas perekonomian masyarakat di sekitar Stasiun Pulau Air.

Pedagang yang berdagang di Stasiun Pulau Air, sudah tidak berdagang lagi, dan ada juga yang memilih berdagang di tempat lain. Sedangkan buruh ada sebagian yang masih menjadi buruh ada juga yang pergi mencari pekerjaan lain.

Halaman tunggu penumpang kereta api (Januari 2017 | Koleksi Pribadi)
Sayangnya, Stasiun Pulau Air telah berhenti dioperasikan sejak tahun 1983. Hal ini juga seiring dengan menurunnya hasil tambang batu bara di Kota Sawahlunto dan berkembangannya transportasi darat lainnya kala itu. Ternyata ini juga berdampak berhentinya beberapa stasiun kereta api yang ada di Ranah Minang.

Saat ini stasiun dan jalur kereta yang masih eksis digunakan yaitu jalur Simpang Haru – Pariaman untuk KA Sibinuang sebagai sarana transportasi dan wisata, jalur kereta yang digunakan PT. Semen Padang dari Indarung ke pelabuhan Teluk Bayur  untuk angkut barang dan KA Wisata Mak Itam di Sawahlunto untuk kereta wisata.

Suasana di lingkungan Stasiun Pulau Air (Maret 2017 | Koleksi Pribadi)

Setelah Stasiun Pulau Air ditutup dan menjadi non aktif, kawasan ini menjadi sepi dan seperti tak bertuan. Dimanfaatkan sebagai kantor salah satu ekspedisi barang dan parkir mobil dan truk yang telah merusak ubin stasiun. Padahal dulunya lalu lintas angkut barang dan jasa sangat padat serta perekonomian masyarakat di sekitarnya sangat menjanjikan. 

Mengingat arti pentingnya tempat bersejarah ini, pemerintah Kota Padang telah menetapkan Stasiun Pulau Air sebagai salah satu cagar budaya dengan nomor inventaris No.69/BCB-TB/A/01/2007. Hingga saat ini jejaknya masih terlihat jelas. Konstruksi banguanannya masih kokoh. Sayangnya kondisi banguan tidak terurus, dindingnya mengalami retakan di beberapa titik. Kemungkinan rentakan ini dampak dari gempa 30 September 2009 lalu. Terlihat di sudut bangunannya pernah mengelami kebakaran.

Ubin asli sejak zaman kolonial (Januari 2017 | Koleksi Pribadi)
Lantai di ruang tunggunya masih asli berbentuk persegi dengan corak totol-totol seperti kulit harimau berwarna kuning. Ada juga tandon tempat menyimpan air hal ini menujukan lokomotif yang digunakan dulu menggunakan bahan bakar batu bara. Sisa banguan yang kemungkinan digunakan sebagai toilet pun masih ada.

Halaman rel kereta di Stasiun Pulau Air (Januari 2017 | Koleksi Pribadi)
Stasiun Pulau Air Padang
Jejak rel kereta di Stasiun Pulau Air yang masih terlihat di antara timbunan bangunan dan tanaman liar (Januari 2017 | Koleksi Pribadi)
Untuk rel keretanya tidak terlihat begitu jelas akibat tertimbun bangkai bangunan dan tanaman liar yang tumbuh di sekitarnya. Padahal di stasiun ini terdapat 4 jalur kereta. Selain itu, ada juga jalur rel kereta yang masih membekas di kawasan Kota Tua Padang berhimpitan bersama rumah penduduk. Begitu juga dengan depo kereta api yang kondisinya cukup memperihatinkan digunakan sebagai bengkel, sama keadaannya dengan stasiunnya.

Mengingat stasiun ini merupakan cagar budaya. Semoga upaya dalam menghidupkannya kembali dapat segera terealisasi. Hal ini sesuai dengan rencana pembukaan kembali jalur kereta zaman kolonial itu untuk jalur kereta railbus dari Stasiun Pulau Air - Simpang Haru hingga ke Stasiun Bandara Internasional Minangkabau (BIM).

Tandon besi (Januari 2017 | Koleksi Pribadi)
Seorang pengendara sepedah melintas di depan Stasiun Pulau Air (Maret 2017 | Koleksi Pribadi)

Stasiun Pulau Air memiliki sejarah panjang dalam perkembangan transportasi perkeretaapaian di Sumatra Barat. Keberadaannya menjadi tonggak dalam pembangunan infrastuktur yang mendukung pembanguan Kota Padang tempo dulu. Meski jejaknya masih terlihat. Jangan sampai dikemudian hari keberadaannya tinggal kenangan.  Mari jelajah Kota Tua Padang. Karena menjelajah tak melulu ke alam.

Tulisan ini hasil Observasi Bayu Haryanto pada Januari 2017. Kemudian update foto Maret 2017 dan Tulisan November 2017.

Kondisi terbaru sejak tahun 2019 sampai Februari 2020, stasiun ini sudah direnovasi dan akan diaktifkan kembali. Sudah diuji kelayakan jalur kereta apinya bulan Maret 2020. Rencana akan dioperasikan mulai 16 Maret 2020. Namun, karena Pandemi COVID-19 ditunda. Upadate tulisan terbaru segera hadir. Tunggu ya.


Stasiun Pulau Air tampak dari sudut belakang bangunan di area rel kereta (Maret 2017 | Koleksi Pribadi)

Referensi:
(1) Yusman Karim . Stasiun Kereta Api Pulo Aie. Artikel Internet. Diakeses Januari 2017.
(2) Rahman Aulia. Stasiun Kereta Api Pulo Aia, Padang. Artikel Internet. Diakeses Januari 2017.
(3) Marshalleh Adaz (2010). Nasib Mu Padang Koe Menggugat Objek Wisata Bersejarah.Artikel Internet. Diakses November2017.

(4) Rifki Firdaus (2010). Perkembangan Kota Padang 1870-1945. Skipsi. Depok: Universitas Indoensia.
————————————————————————————————————————————————————
 ©Hak Cipta Bayu Haryanto. Jika mengkopi-paste tulisan dan foto ini di situs, milis, dan situs jaringan sosial harap tampilkan sumber dan link aslinya secara utuh. Terima kasih.

17 comments:

  1. Semoga bekas-bekas jalur kereta api ini segera dihidupkan lagi.. Sayang banget, di Sumbar ini banyak jalur kereta api yang udah tak terpakai. Padahal bagus kalau bisa menghubungkan dengan kabupaten lain di Sumbar, syukur-syukur bisa lintas provinsi.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ia uda Bara. Semoga saja segera dihidupkan kembali. Karena berpotensi sebagai kereta pariwisata

      Delete
  2. dari foto-fotomu seklias aku dapat membayangkan mas, kejayaan angkutan kereta api di masa lampau. sayang memang kalo bangunan bersejarah tersebut mangkrak dan harus dibiarkan rusak. tapi perawatan memang butuh dana yg gak sedikit sih ya :(

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sepertinya begitu mas. Perlu upaya yang lebih keras dari instansi terkait terutama soal biaya.

      Delete
  3. Sayang banget yaa akhir nya terbengkalai begini, mesti ada campur tangan pemerintah untuk melestarikan nya

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ia mas, mengunggu realisasi saja mas. Karena ini cagar budaya

      Delete
  4. wah sayang ya, kalau dihidupkan lagi bisa gak ya, soalnya kan jokowi sekarang sedang galakan infrastruktur

    ReplyDelete
    Replies
    1. Doakan saja uni. Semoga tidak jadi wacana untuk pengaktifan kembali stasiun dan jalur keretanya. Karena dapat dimanfaartkan untuk jalur wisata dan mengenal kota tua padnag lebih dekat.

      Delete
  5. Replies
    1. Thanks for visit my blog mas. Yuk explore Minangkabau. :)

      Delete
  6. Saya masih ingat sewaktu stasiun ini aktif sekitar tahun 1980
    Tempat saya cari jajanan,sebab di stasiun pulau aia ini dekat dari rmh saya dilahirkan palinggam padang selatan.

    ReplyDelete
    Replies
    1. wah menarik ya pak, sayangnya kini stasiunnya sudah banyak yang rusak padahal itu cagar budaya. Kawasannya disana pun seperti tidak bertuan, sepi.

      Delete
  7. selalu ngilu kalau liat bekas dipo, stasiun gitu
    padahal mbabat alasnya dulu ya lumayan susah
    tahun nonaktifnya berdekatan dengan stasiun banyuwangi, situbundo, bondowoso, dan beberapa stasiun lain di jawa
    dekade itu banyak banget stasiun ditutup, sedih akutu

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ia betul di sini dipo dan stasiunnya tidak terawat dan menunggu waktu saja untuk hancur. Padahal di sini sedang giatnya untuk pembangunan infrastrusktur kereta api.

      TApi kabarnya akan diaktifkan kembali ini stasiun. Semoga saja dapat terealisasi dalam waktu yang dekat. Mengingat nilai historisnya dalam perkembangan Sumatra Barat.

      Senang bisa shareing dengan kamu mas.

      Delete
  8. stasiun ini sekarang sudah bagus Da. sekarang difungsikan untuk stasiun kereta bandara menuju BIM

    ReplyDelete