Meski badan ini masih letih usai perjalanan, tapi semangat yang tinggi tidak menyurutkan langkah kaki ini untuk melihat lebih dekat beragam bentuk rumah gadangnya. Dari penginapan, kami berjalan kaki menyusuri gang kecil hingga tiba di belakang penginapan menuju Rumah Gadang Maram yang ikonik ini.
Ketika melihat rumah gadang ini, dalam benak saya pun terpintas untuk mengambil gambar dengan beberapa sudut yang berbeda. Bahkan beberapa tempat yang saya lewati banyak spot yang fotogenik sekali yang bisa menjadi nilai tambah di Kawasan Saribu Rumah Gadang.
1. Rumah Gadang Gajah Maram, Ikon Kawasan Saribu Rumah Gadang
Jika pernah menonton film Di Bawah Lindungan Ka’bah pasti akan melihat salah satu rumah gadang ini digunakan sebagai lokasi syutingnya. Salah satunya Rumah Gadang Gajah Maram yang diimiliki oleh kaum Datuk Lelo Panjang dari suku Melayu Buah Anau ini.
Rumah Gadang Gajah Maram dikenal dengan rumah gadang koto piliang yang memiliki jumlah atap gonjong genap. Ciri pembeda dari rumah gadang lainnya, karena perbandingan antara panjang, lebar dan tingginya menimbulkan kesan gemuk seperti gajah sedang mendekam. Pada sisi kiri dan kanannya ditinggikan dari lantai atau terdapat ajungannya.
Rumah Gadang Datuk Lelo Panjang ini menjadi ikon Kawasan Saribu Rumah Gadang yang diperkirakan lebih dari 400 tahun. Bila ada tamu yang berkunjung, biasanya di pelataran rumah gadang ini akan ditampilkan kesenian tradisional khas Solok Selatan yaitu Tari Tampuruang dan Silek Luncua. Tak jarang juga di ruang utamanya sering digunakan untuk tempat makan bajamba. Banyak juga pengunjung yang menjadikan rumah gadang ini sebagai latar untuk berfoto, sebabnya itu dijadikan ikon.
2. Surau Menara, Antar Tempat Ibadah dan Sajian Panorama Nagari Saribu Rumah Gadang
Dari Rumah Gadang Gajah Maram dilanjutkan menuju Surau Menara. Selama perjalanan saya pun melihat berbagai bentuk rumah gadang. Surau ini memiliki keunikan tersendiri diantara tempat ibadah umat muslim lainnya, sebab memiliki menara yang dapat melihat panorama alam di sekeliling kampung adat Nagari Saribu Rumah Gadang. Hal ini pula yang menjadikan namanya Surau Menara.
Surau Menara adalah surau pertama yang dibangun di Nagari Koto Baru. Mulanya dibangun di pinggir lapangan bola, tetapi karena pinggir Sungai Batang Bangko selalu terjadi abrasi dan tebing pinggir sungai runtuh, maka Surau Menara digeser agak ke daerah yang lebih tinggi.
Surau Menara adalah surau pertama yang dibangun di Nagari Koto Baru. Mulanya dibangun di pinggir lapangan bola, tetapi karena pinggir Sungai Batang Bangko selalu terjadi abrasi dan tebing pinggir sungai runtuh, maka Surau Menara digeser agak ke daerah yang lebih tinggi.
Surau ini memiliki menara yang tingginya sekitar 13 meter, ini melambangkan rukun salat. Tiang yang terbuat dari kayu dan puncaknya ini masih terjaga keasliannya. Kayu yang digunakan dari jenis Jua atau sebangsa Sonokeling. Meski sudah dimakan usia masyarakat setempat telah memperkokoh tiangnya sejak tahun 2002.
Surau Menara zaman kolonial |
Surau ini telah berdiri sejak awal abad ke-20 sekitar tahun 1900 dengan luas area 12 meter persegi dengan puncak berbentuk limas atau menyerupai pagoda. Namun, untuk tahun pastinya tidak ada literatur yang dapat menjadi rujukan. Kabarnya juga surau ini pernah tidak digunakan selama 20 tahun dari 1950-1970. Kemudian tahun 1980, secara swadaya oleh masyarakat setempat surau ini direnovasi dan diperluas menjadi 8x12 meter.
Bangunan itu didirikan dengan konstruksi sambungan dengan cara pahatan tanpa menggunakan besi paku. Atap Surau Menara merupakan punden berundak tiga tingkat. Undak pertama dari bawah berbentuk persegi empat (model bungkus nasi), undak kedua di bagian tengah merupakan persegi delapan, dan undak ketiga paling atas mengikuti undak kedua yang juga bersegi delapan.
Puncak menara paling atas terdiri atas lingkaran-lingkaran kecil yang berjumlah enam buah. Pada bagian undak kedua dari atap terdapat sebuah ruangan yang mengikuti pola segi delapan. Ruangan ini juga memiliki delapan jendela kecil. Fungsi ruangan tersebut adalah untuk mengumandangkan azan setiap masuk waktu shalat.
Dulu, surau ini menggunkana dinding kayu dan atap ijuk. Kini beberapa bagian bangunanya telah diganti dengan tembok yang terbuat dari batu bata dan atap dari seng. Meski demikian keasliannya masih terlihat pada atap kedua hingga puncaknya.
Tedapat 15 anak tangga untuk mencapai puncak menara yang posisinya berada di tengah bangunan surau ini. Saya berkesempatan naik ke puncaknya. Dengan bantuan tangga yang bisa dibuka dan ditutup, saya naik kelantai dua. Terlihat lantainya yang terbuat dari kayu ini baru saja diganti dengan kayu yang baru, aromanya masih tercium menengat di hidung. Kemudian naik anak tangga melingkar yang semakin tinggi semakin sempit di puncaknya hanya cukup untuk satu orang.
Di atas sana saya melihat pemandangan yang spektakuler. Hal ini disebabkan saya dapat melihat puncak rumah adat Minangkabau ini. Tidak salah disebut Nagari Saribu Rumah Gadang. Saya terpesona sekali. Sebabnya momen langka saya pun banyak mengabadikan foto dari puncak surau ini. Pengalaman yang luar biasa.
Surau Menara merupakan peninggalan Syekh Khatib ‘Ali al-Fadani, seorang pemimpin ulama-ulama tua Minangkabau yang kharismatik. Beliau juga merupakan penulis dan penyair yang lahir di Muaro Labuah, dan kemudian memapankan karirnya di Padang. Di antara banyak karyanya, salah satu yang terkenal adalah kitab Burhanul Haq, sebuah risalah yang bertujuan mempertahankan mazhab Syafi’i dan tarikat Naqsabandiyah di Minangkabau.
Dikutip dari akun instagram @infosolsel, menurut sejarah dan kisah yang diutarakan oleh Datuak salah satu Rumah Gadang, surau ini banyak melahirkan tokoh-tokoh Minangkabau di antaranya Bapak Proklamator sekaligus Wakil Presiden Pertama Republik Indonesia, Drs. Mohammad Hatta pernah mengenyam pendidikan agama Islam di surau ini.
Selain untuk tempat ibadah salat, Surau Menara ini menjadi tempat pengajaran agama Islam, seperti membaca Al Quran, belajar silat, belajar adat, belajar tarekat, dan sebagainya.
Jika dilihat dari sejarahnya, surau ini masuk katagori bangunan cagar budaya dan tentunya harus dilindungi. Surau ini juga masuk bagian adegan dalam film Di Bawah Lindungan Ka'bah yag diangkat dari novel karya Buya Hamka.
Jika dilihat dari sejarahnya, surau ini masuk katagori bangunan cagar budaya dan tentunya harus dilindungi. Surau ini juga masuk bagian adegan dalam film Di Bawah Lindungan Ka'bah yag diangkat dari novel karya Buya Hamka.
Mengunjungi Kabupaten Solok Selatan tidak lengkap bila tidak berkunjung ke Surau Menara yang ikonik dan mempesona ini. Apalagi para pencinta heritage, sangat rugi bila tidak ke sini. Tidak semua orang bisa naik ke menara harus izin. Terpenting karena tempat ibadah tentu untuk umat muslim saja. Waktu itu saya
berkunjung ke surau ini saat jelang Magrib. Menikmati suasana senja dari surau
ini sangat menarik juga.
3. Landmark Kawasan Saribu Rumah Gadang
Azan subuh terdengar disela-sela selimut yang menutup badan ini. Udara pagi ini begitu dingin. Saya bergegas untuk salat sekaligus mandi pagi. Sementara teman-teman lainya ada yang sudah bangun dan ada yang masih meringkuk dibalik hangatnya selimut. Dimaklum suasana tidur dirumah gadang kala bagi itu dingin sekali. Saya berjanji dengan Uda Bara untuk jalan-jalan keliling kampung tapi nampakya saya harus sendiri, begitu juga teman lainnya. Pada mager.
Keluar dari penginapan, menghirup udara pagi yang segar dan bersih. Saya pun jalan kaki keluar kawasan saribu rumah gadang menuju jalan raya yang ada tulisan landmark-nya. Masih sepi dan langit masih gelap. Sesekali kendaran melintas. Saya sendiri di tempat ini, tentunya untuk mengambil gambar gapura dan tulisan landmark ini sebagai kenang-kenangan.
Bila mengunjungi Kabupaten Kerinci via Kabupaen Solok Selatan ini pasti akan melewati dan melihat landmark. Karena Kawasan Saribu Rumah Gadang ini merupakan jalan lintas Sumatra antar provinsi. Selama di sini, tiap pagi saya selalu hunting di tempat ini. Pokoknya landmark ini menjadi spot foto wajib bila berlibur ke Solok Selatan. Jangan sampai dilewatkan ya!
Usai dari landmark ini saya
singgah ke Masjid Raya Koto Baru yang masih satu kawasan dan berada persis
dibelakang landmark ini. Masjid yang telah ditetapkan sebagai bangunan cagar
budaya ini dibangun selama 10 tahun lamanya dari tahun 1922-1933. Pada tahun 1926, saat proses pembangunan terjadi gempa bumi yang mengakibatkan keruskaan pada masjid ini.
Kemudian, konstruksi bangunan masjid itu termasuk kokoh, karena pemerintah Jepang mengujinya dengan alat tahan gempa pada tahun 1943. Ternyata Masjid Raya Kotobaru termasuk bangunan yang kokoh dan tahan gempa.
Bila
pernah melihat Masjid Rao-Rao di Kabupaten Tanah datar, maka sekilas arsitektur
masjid ini hampir sama, terlihat dari berupa
perpaduan antara arsitektur Minangkabau dengan Persia. Atap masjid ini terdiri beberapa tingkatan yang sedikit cekung, hanya saja di tingkatan atap teratas terdapat ruang berbentuk persegi dengan empat atap bergonjong mengarah ke empat penjuru mata angin angin yang dilengkapi dengan mustaka di bagian tengahnya.
Terdapat empat gonjong melambangkan empat raja dari empat suku yang bermukim di kawasan Alam Surambi Sungai Pagu, yaitu Malayu, Kampai, Panai, dan Tigo Lareh. Sementara mustaka yang menjulang setinggi lebih kurang 1,5 meter merupakan perlambangan bahwa empat raja tersebut bertuhan kepada yang satu, yakni Allah.
Saat ini selain digunakan untuk aktivitas ibadah umat Islam, masjid satu lantai ini juga digunakan sebagai sarana pendidikan agama bagi masyarakat sekitar, bahkan telah menjadi salah satu daya tarik wisata terkenal di Kabupaten Solok Selatan.
5. Nuansa Rumah Gadang Jalan
Menuju Homestay 1 ke Homstay 2
Nuansa klasik menjadi objek fotogenik di Kawasan Saribu Rumah Gadang. (Foto: Uda Nof) |
Kawasan Saribu Rumah Gadang ini bisa dibilang representasi kehidupan perkampungan Minangkabau tempo dulu. Nuansa yang diciptakannya begitu terasa sekali. Untuk menjadi objek berfoto klasik sangat pas sekali. Di kawasan jalan utama menuju homstay 1 ke homstay dua bisa dicoba untuk hunting. Kiri kana depan belakang semuanya ada rumah gadang yang saling berdekatan. Melihat atap begonjong ini saya suka terkagum-kagum.
Di sini terlihat bangunan rumah gadang yang telah dikombinasikan dengan bangunan berbeton pada dindingnya dan ada juga yang masih terbuat dari kayu. Kerennya bentuk dan jumlah atap begonjongnya berbeda antar rumahnya dan masih ada rangkiang yang jumlahnya lebih dari 4 depan rumahnya. Spot ini menarik juga untuk berfoto dengan nuansa gaya klasik atau modern. Semuanya bisa dipadupadankan sesuai keinginan.
6. Framing Gapura Dekat
Homestay 3
Dari penginapan saya kemudian berjalan menuju homstay 3. Sebenarnya ketika itu sudah terpikir untuk mengabil gambar ditempat ini, tapi mengingat waktu sudah sore dan lalu lalang kendaraan cukup ramai, jadi saya ditunda terlebih dahulu.
Pagi hari momen yang tepat untuk berfoto di tempat ini. Gapura yang diselimuti oleh dedaunan buah markisa ini menarik untuk jadi latar berfoto. Saat itu, saya bersama Abang Oji usai berkeliling kampung dan singgah ke tempat ini. Maklum saya agak sensitif untuk melihat spot-spot menarik, apalagi untuk berfoto. hehehe
Bagi sebagian orang mungkin tidak ada yang menarik dengan gapura ini, tapi bagi saya ini lokasi yang bagus untuk berfoto. Kombinasi daun dan latar atap gonjong di belakangnya menjadikan tempat ini cukup instagramable. Jadi kalau ke Kawasan Saribu Rumah Gadang bisa menyempatkan diri untuk berfoto dengan nuansa yang berbeda.
7. Jembatan Kuning dan Bekas Surau di Film Di Bawah Lindungan Ka’baah
Duta Pariwisatas Solok Selatan 2017 mengenakan pakaian tradisional ketika melintasi jembatan besi kuning. (Foto: Uda Nof) |
Mengunjungi Kawasan Saribu Rumah Gadang tidak lengap juga bila belum bertandang ke jembatan besi kuning dan bekas surau yang digunakan sebagai lokasi syuting Film Di Bawah Lindungan Ka’baah. Nah, spot ini menjadi pelengkap dari semua keunikan dan hal-hal yang mengagumkan di kawasan ini.
Jembatan ini menghubungkan antara Kawasan Seribu Rumah Gadang dan daerah Seberang Sako Pasir Talang yang dilintasi oleh Sungai batang Bangko. Konstruksi jembatan berupa jembatan Gantung yang ditahan oleh kawat baja sehingga mampu dilewati oleh kenderaan roda empat. Besi jembatan ini berasal dari besi bekas Jembatan Muaro Kahek Kabupaten Limapuluhkota pada tahun 1986.
Ketika itu terjadi pergantian konstruksi Jembatan Muaro Mahek menjadi beton bertulang. Mengingat kondisi besinya masih bagus, maka pejabat Dinas Pekerjaan Umum Sumatra Barat kala itu memberikannya untuk membangun jembatan di Nagari Koto Baru.
Pengelolaan jembatan dapat dimanfaatkan sebagai penarik wisatawan karena lingkungan jembatan dan aliran Batang Bangko memiliki pemandangan yang indah, alam tradisional, dan diselingi dengan areal persawahan yang terbentang luas.
Seorang pengendara melewati jembatan besi kuning. (Foto:Uda Nof)
|
Sebelumnya saya sudah bercerita tentang serunya bisa menginap (homestay) rumah gadang. Nah, kali ini seputar beberapa spot fotogenik yang dapat dicoba bila menjelajah di Kawasan Saribu Rumah Gadang. Sebenarnya perlu banyak lagi tempat yang bisa dijadikan spot foto. Jika terfokus pada satu titik kurang lengkap dan puas rasanya. Selain menjadi nilai jual yang baru, tentunya dapat memberikan kesejahteraan bagi masyarakat setempat.
Andai kata tiap tepian jalan perkampungan ini ditanami lagi dengan banyak tanaman hias dan berbagai jenis bunga, tentunya akan mempercantik kawasan ini menjadi lebih warna warni dengan latar nuansa kekunoan dari rumah gadang. Perlu juga kiranya dibuatkan peta lokasi kawasan yang dipajang dimuka gerbang dengan berbagai informasi yang lengkap dan menarik serta pernak-pernik buah tangan khas daerah ini yang bisa menjadi pelengkapnya.
Rasanya berlibur di Kawasan Saribu Rumah Gadang itu ibarat orang sedang LDR. Ketika mengunjungnya kembali akan menjadi pelipur lara dan menjawab kerinduan yang lama tak bersua.
Kawasan Saribu Rumah Gadang adalah satu paket lengkap untuk menikmati secuil keindahan alam dan budaya yang dimiliki oleh Kabupaten Solok Selatan. Terutama bagi pencinta heritage dan fotografi, kawasan ini bisa menjadi daftar inteneri wisatanya.
Mencari suasana liburan yang tidak bisa? Nah, berkunjung saja ke Kawasan Saribu Rumah Gadang Koto Baru Kabupaten Solok Selatan. Di sana kita akan menemukan sensasi Minangkabau di zaman tempo dulu. Bisa menginap (homestay) di rumah gadang atau sekedar berkeling-keling kampung sambil berfoto. Yuk ke Solok Selatan, The Heart of Minangkabau.
————————————————————————————————————————————————————
©Hak Cipta Bayu Haryanto. Jika mengkopi-paste tulisan ini di situs, milis, dan situs jaringan sosial harap tampilkan sumber dan link aslinya secara utuh. Terima kasih.
waduh,, gara-gara mager dan kedinginan, gagal hunting foto sama Ubay,, dan ternyata banyak spot keren yang terlewatkan T_T T_T
ReplyDeletehahahaha mumpung ditempat orang da. Makanya dimanfaatkan semaksimal mungkin waktunya hahaha
DeleteRugi kan? Tengang masih ada kesempatan lain yang bisa dikunjungi da
Sumatra barat memang cakep banget yaa.. Baru sempet ke bukittinggi doang dan blm eksplore kota2 lain. Yg aku dgr di solok itu nasinya jg beda. Makanya masih pgn bgt ke sana utk ngerasain kulinernya
ReplyDeleteHAi unii, ia uni Sumbar memang cakep, gk alamnya dan budayanya aja, tapi orangnya juga cakep-cakep hehehe
DeleteWah, musti ke Sumbar dan jelajah kota-kota lainnya. Dijamin bakalan ketagihan dan rindu hehehehe
Apalagi kulinernya bikin ngiler banget deh :)
Padang salah satu bucket list saya dan patut untuk di-explore karena ojek wisatanya masih alami banget. :D
ReplyDeleteBtw saya juga ada blog di Heriand.com , don't forget to visit ya :)
Yuk kang main main ke Kota Padang. Dijamin bisa ketagihan hehehe
DeleteAsik banget spot fotogeniknya.... pengen foto di suraunya...
ReplyDeleteIa betul sekali tempat2nya memang fotogenik sekali. Yuk ke Solok Selatan
ReplyDelete