Siang, dan matahari di Padang begitu teriknya, seakan memberi sinyal hari ini ada cerah. Langit biru dengan barisan awan bergerak menuju Samudera Hindia. Laju kereta semen menderu memasuki area Pelabuhan Teluk Bayur. Debu menghitam yang mengudara dari para "kendaraan berbadan besar" itu turut memberi nuansa yang berbeda.
Cerita Kemerdekaan. Bukan sekedar buah manis dari perjuangan tetapi ada kisah yang harus dirawat dan dibagikan. Begitu juga hari itu, dalam suasana kemerdekaan memberi nada yang sama saat kegiatan Jelajah Galanggang Arang Warisan Tambang Batubara Ombilin Sawahlunto (WTBOS).
Saya berkesempatan menjadi interpreter yang menceritakan sebuah perjalanan dari batubara Ombilin yang harus bertebaran ke penjuru dunia. Batubara memiliki riwayat tersendiri bagi masyarakat Minangkabau, ada kemajuan dan nestapa yang tersemat. Bagi masyarakat Minangkabau istilah batubara itu dikenal dengan nama baro atau lidah arang (daagzoom). Saya sebut sendiri dengan nama arang Ombilin.
Padang dan Sawahlunto, Ada Apa?
Jauh sebelum akhir abad ke-19, penemuan kandungan batubara di pedalaman Minangkabau sudah tersiar hingga ke tanah Eropa. Arang Ombilin menjadi primadona pada masa itu dan menjadi buah dari dampak revolusi industri di Eropa yang menjalar hingga ke pedalaman Minangkabau. Pemangku kebijakan melakukan intervensi kepada para peneliti untuk melakukan ekspedisi hingga akhirnya arang Ombilin ini benar-bener ditemukan dan merubah hampir sebagai wajah Sumatera Barat terutama, Sawahlunto dan Padang.
Membuka cerita dimulai dari pusat kota Padang, semua peserta Jelajah Galanggang Arang WTBOS berkumpul di Museum Adityawarman, sebuah museum terbesar yang ada di Ranah Minang. Para peserta yang berasal dari Forum Anak dan Pelajar SMK di Kota Padang ini diajak berkeliling dan melihat peninggalan bersejarah dan keragaman budaya.
Bergerak lanjut menuju bawah kolong Jembatan Siti Nurbaya. Titik ini menjadi kick off kegiatan Gelanggang Arang Tahun 2024 pada 4 Mei 2024 lalu. Lokasinya ini dekat Pelabuhan Muaro yang legendaris dan masuk ke dalam kawasan Kota Tua Padang.
Kawasan ini menjadi titik mula dimana sebuah peradaban dari kota yang pernah didaulat sebagai metropolitan di pesisir pantai barat Sumatra (Sumatra's Westkusts) pada akhir abad ke-19. Terbentuknya Padang ini tidak lepas dari aktivitas dan interakasi perniagaan dunia di bagian barat pulau Sumatra.
Padang hadir karena kebutuhan kongsi dagang Belanda, Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) untuk mencari wilayah transit perdagangan, baik yang dilakukan ke daratan Minangkabau atau perdagangan dengan daerah lainnya. Pandangan VOC, Padang memiliki lokasi yang strategis secara geografis.
Dalam perjalanannya, Padang semakin berkembang setelah ditemukannya arang Ombilin yang terkoneksi dengan jaringan kereta api dengan muaranya di Pelabuhan Teluk Bayur. Arang Ombilin sebagai pematik mega proyek tiga serangkai (linkage system) Indutri Tambang Batubara Ombilin di Sawahlunto.
Nyatanya panasnya arang Ombilin turut membangun kehidupan menjadi sumber energi untuk menggerakan roda ekonomi dan transportasi di Indonesia, Eropa bahkan seluruh dunia.
Padang dan Sawahlunto, Ada Apa? Jawabnya Padang dan Sawahlunto adalah sebuah simpul yang tidak bisa dipisahkan. Dua kota ini ibarat kakak beradik yang terpisah jauh. Sawahlunto di dataran tinggi di pendalaman Minangkabau yang kaya akan kandungan emas hitamnya, sedangkan Padang berada di pesisir pantai yang menjadi pusat perdagangan dan dekat dengan gerbang dunia.
WTBOS dan Kota Tua Padang
Jejak kejayaan Padang tempo dulu dapat dinikmati sepanjang jalan Batang Arau yang kaya akan keragaman bentuk arsitektur kolonial serta perpaduanannya dengan gaya Tionghoa, India dan Melayu. Ada bangunan yang ikonik yang secara tidak langsung bisa menghubungkan Padang dan Sawahlunto seperti kantor pusat pemerintahan Sumatra's Westkusts, Javasche Bank hingga Stasiun Pulau Air.
Dari bawah Jembatan Siti Nurbaya menelusuri kawasan “Pecinaan Padang” dengan ciri khasnya bangunan Kelenteng See Hien Kiong hingga akhirnya sampai di stasiun pertama di Minangkabau yaitu Stasiun Pulau Air. Peserta masuk dan menjelajahi tiap sudut area stasiun.
Ada yang menarik di Stasiun Pulau Air ini, salah satu ruang stasiun bisa menikmati koleksi foto jadul yang terpasang rapih di dinding. Ada juga loker penyimpanan jadul yang pintunya tebal terbuat dari baja. Ada juga lukisan-lukisan suasana stasiun dan “Mak Itam” yang epik menghiasi di ruang tunggu penumpang. Ternyata ada satu ruang yang jadi yang seolah menjadi memoribilia. Stasiun Pulau air dalam keheninggannya yang memiliki pesan yang tersirat jauh lebih dari seratuh tahun yang lalu.
Meskipun Kota Tua Padang tidak memiiki kaitan erat dengan Industri Tambang Batubara Ombilin di Sawahlunto, tapi secara tidak langsung saling terhubung. Kota Tua Padang dengan segala pernak perniknya menjadi area penyangga bagi WTBOS. Objek jelajah di Kawasan Kota Tua Padang pun menjadi simpul untuk merangkai narasi WTBOS yang harus dikoneksikan, dirawat, dibagikan dan dimanfaatkan secara bersama-sama.
Silo Gunung, Warisan Dunia dengan Teknologi Canggih Pada Zamannya
Singkat cerita sampai di Pelabuhan Teluk Bayur yang masyhur itu. Kira-kira sekitar 25 menit dari pusat kota Padang. Nampaknya ada benarnya juga dari lirik Lagu Teluk Bayur yang dipopulerkan oleh penyanyi Erni Johan era 1960-an ini, seolah membuat siapa saja yang mendengarkannya akan merasa bernostagia.
Kejayaan pelabuhan yang dulunya bernama Emmahaven ini memberikan makna yang tidak ternilai. Emmahaven sendiri dibangun bersamaan dengan pembangunan infastruktur WTBOS untuk jaringan kereta api yang dibuat secara bertahap. Awalnya Pelabuhan Teluk Bayur ini telah eksis sejak tahun 1780-an. Namun, bencana alam yang pernah melanda Padang seperti gempa bumi dan tsunami sempat merusak kawasan pelabuhan ini.
Seiring berjalannya waktu, pemerintah Hindia Belanda meningkatkan kapasitas pelabuhan untuk kegiatan ekspor impor dalam dan luar negeri. Mau tidak mau harus membangun ulang kembali pelabuhannya pada tahun 1888-1892. Pelabuhan ini hasil rancangan J. P. Yzerman.
Sekilas memasuki area Pelabuhan Teluk Bayur itu tidak ada yang istimewa. Kawasan stagegis ekspor impor barang dan komoditas di Ranah Minang ini memang bukan rute masyaarakat umum apalagi menjadi tempat tujuan wisata. Namun, area Pelabuhan Teluk Bayur ini menjadi isitimewa ketika telah ditetapkan menjadi warisan dunia karena memiliki objek warisan dunia. Namanya Silo Gunung (Kolenmagazijn).
Padang itu menjadi kota terakhir dari perjalanan arang Ombilin ini dan Silo Gunung menjadi objek dan atribut WTBOS yang sangat ikonik dengan bentuk bangunan yang super istimewa di Pelabuhan Teluk Bayur ini.
Secara keseluruhan, Silo Gunung merupakan atribut dan bagian dari area C WTBOS untuk fasilitas gudang batubara di Pelabuhan Teluk Bayur yang terletak di pesisir barat Sumatera. Silo Gunung ini juga menjadi salah satu objek dari 12 bagian komponen dan dari 24 atribut yang memiliki nilai universal luar biasa pada WTBOS.
Silo Gunung ini merupakan berupa fasilitas tempat penyimpanan deposit, stockpile (penumpukan) dan transshipment (alih muatan kapal) arang Ombilin hasil pertambangan batubara Ombilin Sawahlunto yang didistribusikan melalui kereta api hingga ke Pelabuhan Teluk Bayur sebelum dimuat ke kapal.
Nama Silo Gunung ini barang kali berasal dari karakteristik kawasannya yang memang berada di daerah perbukitan dan lokasinya pun digunakan sebagai tempat penyimpanan sementara batubara.
Silo Gunung resminya menjadi warisan dunia ketika telah diserahkannya sertifikat UNESCO dari Direktur Warisan dan Diplomasi Budaya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Dr. Nadjamuddin Ramly, M.Si kepada Walikota Padang Mahyeldi Ansarullah, S.P pada 29 Oktober 2019.
Silo Gunung, Titik Terakhir Arang Ombilin
Terik matahari siang itu tidak melunturkan semangat para peserta Jelajah Galanggang Arang WTBOS ini karena sudah sampai di objek utamanya. Para peserta selain mendapakan penjelasan dari setiap objeknya juga memiliki misi untuk menggambar bangunan warisan kebudayaan yang telah dikunjunginya tadi. Ada gedung Javachebank, Geo Wehry & Co, Stasiun Pulau Air dan tentunya Silo Gunung juga.
Semua peserta pada terkesima dengan bangunan tua yang memanjang tidak terurus ini berdampingan dengan rangkaian besi-besi yang tinggi menjulang. Kesan tidak terawat memang melekat pada objek ini. Bahkan papan informasi WTBOS yang berada di dekat pintu masuk pun ditutupi oleh Ilalang yang tumbuh subur.
Usai makan siang, semuanya menuju ke bangunan utama Silo Gunung dan masuk hingga ke ujung bangunan. Di sana, saya pun melanjutkan cerita mengenai keistimewaan dari Silo Gunung yang acap kali saya sebut ketika berada di Kota Tua Padang itu.
Masih bersyukur sekali, dokumen lama masih tersedia dan menujukan kondisi Silo Gunung tempo dulu. Meskipun tidak begitu lengkap tapi bisa memberikan gambaran akan suasananya. Bisa coba dicek situs Wereldmuseum, Leiden University Libraries dan Nationaal Museum van Wereldculturen, koleksi foto Silo Gunung tersedia dengan baik dan jelas.
Silo Gunung ini awalnya memiliki dua bangunan yang bentuknya kembar lengkap dengan jalur kereta apinya. Bangunan Silo Gunung pertama pertama dibangun pada 1 Oktober 1894 dengan kapasitas 5000 ton dan bangunan Silo Gunung kedua yang di bangun pada tahun 1909 berkapasitas 8000 ton.
Seiring dengan perkembangan teknologi pengangkutan, maka bangunan Silo Gunung yang kedua terpaksa dihancurkan untuk penyesuaian teknologi pengangkutan arang Ombilin dengan sistem belt conveyor. Kemungkinan bangunan ini diganti sekitar tahun akhir 1970-an. Pasalnya salah satu foto karya Ted Polet tahun 1974 masih terdapat dua bangunan Silo Gunung.
Dengan kapasitas besar, Silo Gunung mampu menampung ribuan ton batubara dan memastikan pasokan yang stabil serta efisien. Bentuk dan struktur Silo Gunung dirancang dengan teknologi yang adaptif pada masanya, Untuk menjamin dan memungkinkan proses pengisian dan pengosongan batubara berlangsung cepat
Panjang bangunan Silo Gunung ini sekitar 210 meter dengan panjang terowongan 150 meter dan memiliki sekat 38 blok/kamar dengan dua pintu setiap kamarnya. Di sebelah bangunan arah ke laut terdapat jejak rel kereta atau lori dengan paping blok sedangkan di arah ke bukit masih tanah dengan remputan liarnya. Terdapat rangkaian bangunan conveyor untuk pengangkutan batubara.
Silo Gunung memiliki struktur yang unik dengan cara kerja yang menarik untuk diceritakan. Selama perjalanan panjang sejauh 155 km dari Sawahlunto akhirnya arang Ombilin sampai di jalur kereta lokomotif menuju Silo Gunung. Memasuki bangunan ada dua jalur rel kereta. Posisi jalurnya berada di bagian atas bangunan Silo Gunung. Batubara dari tiap gerbong dijatuhkan dari atas melalui saluran yang telah disediakan.
Panjang bangunan Silo Gunung ini sekitar 210 meter dengan panjang terowongan 150 meter dan memiliki sekat 38 blok/kamar dengan dua pintu setiap kamarnya. Di sebelah bangunan arah ke laut terdapat jejak rel kereta atau lori dengan paping blok sedangkan di arah ke bukit masih tanah dengan remputan liarnya. Terdapat rangkaian bangunan conveyor untuk pengangkutan batubara.
Silo Gunung memiliki struktur yang unik dengan cara kerja yang menarik untuk diceritakan. Selama perjalanan panjang sejauh 155 km dari Sawahlunto akhirnya arang Ombilin sampai di jalur kereta lokomotif menuju Silo Gunung. Memasuki bangunan ada dua jalur rel kereta. Posisi jalurnya berada di bagian atas bangunan Silo Gunung. Batubara dari tiap gerbong dijatuhkan dari atas melalui saluran yang telah disediakan.
Setidaknya ada tiga corong yang menghubungkan Silo ke pelabuhan yang bisa memasok total 280 ton batubara per jam. Dua corong itu dengan masing-masing dengan kapasitas 120 ton per jam dan satu corong 40 ton per jam.
Semua proses bongkar muat terjadi area Silo Gunung baik di bangunan lama maupun dengan sistem belt conveyor. Dengan demikian, disinilah perjalanan arang Ombilin berakhir. Kerennya lagi, silo/depot pengisian batubara ini merupakan teknologi paling maju di Asia Tenggara pada waktu itu.
Merawat Riwayat Silo Gunung
Ibarat simpul, Silo Gunung ini tidak bisa dipisahkan dengan industri batubara Ombilin, saling mengikat dan terintegrasi. Kini, Area Silo Gunung ini menjadi bagian dari aset PT. Bukit Asam Unit Produksi Ombilin yang mempunyai luas kawasan sekitar 2,5 hektar. Area ini pun terdiri dari tiga bagian utama yaitu bangunan Silo Gunung, ampayen atau tempat pembawa batubara ke pelabuhan, dan ruang kontrol.
Secara umum, kondisi Silo Gunung masih kokoh dan cantik walaupun sudah dihantam hujan badai hingga gempa sekali pun. Harus diakui perihal konstruksi, para insinyur di zaman kolonial ini sangat hebat bisa berteman dengan alam dan karyanya masih dapat dijumpai saat ini. Teruji hingga lebih dari 100 tahun.
Sesudah penjelasan yang saya sampaikan. Para peserta in mulai membuat gambar. Tidak lupa juga saya ikut membuat sketsa Silo Gunung ketika dai masih ada pasanganannya. Nampaknya para peserta ini sangat cakap sekali dalam menggores pensil dan pena gambarnya. Hasil bangunan yang dibuat sungguh cantik-cantik.
Rangkaian Jelajah Galanggang Arang WTBOS ini pun berakhir tidak teras sudah seharian melakukan petualangan bersejarah ini. Bagaimana pun jelajah warisan kebudyaaan melalui pendekatan parwisiata bisa menjadi salah satu upaya untuk menjaga warisan dunia. Misalnya, seperti Jelajah Galanggang Arang WTBOS ini menjadi salah satu aktivasi dalam merawat warisan WTBOS. Aktivitas yang sederhana tapi memberikan dampak yang luar biasa.
Di antara berbagai elemen yang ada di WTBOS, Silo Gunung memiliki peran penting yang sering terlupakan. Silo Gunung dibangun pada masa kejayaan tambang batubara Ombilin, yang merupakan salah satu tambang tertua di Asia Tenggara.
Peran Silo Gunung dalam WTBOS bukan hanya sekadar bangunan penyimpanan, Silo Gunung adalah simbol kemajuan teknologi dan ekonomi pada masa kolonial yang turut andil dalam membangun kota Padang menjadi pusat perniagaan dunia.
Cerita tentang Silo Gunung adalah cerita tentang kebanggaan, tanggung jawab, dan komitmen terhadap upaya kolektif dalam membangun semangat menjaga, merawat dan memanfaatkan warisan dunia ini.
***
Tulisan ini pernah dikutsertakan dalam Lomba Penulisan Feature, Video Feature dan Foto Cerita Warisan Dunia Ombilin Sumatera Barat dalam rangka Memeriahkan Kegiatan Galanggang Arang 2024 yang diselenggarakan oleh Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah III Provinsi Sumatera Barat pada bulan Agustus 2024.
Bagus banget acaranya. Seru pastinya ya
ReplyDeleteBangga tuh Indonesia seharusnya. Sudah di pulau paling timur menyediakan cadangan emas (Freeport)
Di pulau paling barat ini ternyata memiliki harta karun berupa batu bara juga ya....
Beneran aktivitas sederhana yang memberi dampak luar biasa. Kereeen!
ReplyDeleteSalut, bangga dan acung jempol pada kegiatan Jelanjang Gelanggang Arang WTBOS ini. Itu sketsanya keren-keren euy!
Btw, Kak Ubay saat nulis asyik begini gimana pas jadi interpreter ya...pasti seru, diajak mengililigi warisan budaya ternama sambil diceritakan kisah kejayaannya. Sehingga generasi selanjutnya akan tahu, mengambil nilai besarnya dan peduli untuk ikut menjaga kelestariannya
Belakangan ini, saya selalu terharu dengan berbagai penggalan sejarah. Padahal, dulu saat sekolah, saya paling tidak begitu meminati pelajaran satu ini.
ReplyDeleteNamun, di usia 30+ ini entah kenapa saya sangat menikmati setiap deretan cerita masa lalu. Entah itu sejarah yang terjadi di tanah air atau di negara lain.
kaaa suka banget kalau ada Napak tilas sejarah begini
ReplyDeleteberuntung banget bisa ikut acara dan menuliskan nya
membaca artikel ini entah kenapa terbayang masa lalu ada tentara Belanda dan kita orang yang jadi pekerjanya
setiap wilayah di Indonesia ini memang banyak sekali peninggalan masa penjajahan dulu
Acaranya ini menarik banget bang. Para peserta diajak berkeliling menikmati sejarah dan cerita di balik gedung yang ada di kawasan ombilin. Lalu mereka disuruh gambar. Yaa ampun gambarnya bagus-bagus banget.
ReplyDeleteSelalu salut membaca artikel Bang Ubay ini ya, bermain di deskripsi yang detail sehingga saya merasa turut serta ke dalam kegiatan Gelanggang Arang Wisata Tambang Batubara Ombilin SawahLunto. Melihat bangunan bersejarah tak terurus zaman Belanda saya teringat masa berwisata keluarga kami ke Sumbar, mampir ke Lobang Japang juga.
ReplyDelete